• Kesejatian



    *Rindu: Kaisa_

    google image
    Kamu berada pada jarak yang tak bertepi, berseberangan dengan altar ruhani yang kuyakini. Memandangmu kini seperti sebuah titik dikejauhan yang hampir menghilang. Namun entah mengapa jantung ini berdegup kencang saat menyadari bahwa mungkin aku akan kehilanganmu untuk waktu yang tak bertepi pula… Selamanya.

    Malam ini hatiku koyak. Mengingatmu yang telah merubah haluan hidup.. tidak. Mungkin ini hanyalah katarsis yang keliru. Mungkin aku salah memahami antara diriku dan dirimu, mungkin juga aku terlalu keras padamu. Ah, andai kau tahu, semua ini kulakukan atas nama cinta karenaNYa. Aku terbaring mendengarkan irama rindu yang bertalu-talu memenuhi ruang dengarku, “jangan menyerah… Kaisa, lakukan sesuatu! Untuknya dan untuk dirimu…”
    Hatiku ternyata bukan hanya koyak namun banjir oleh rasa bersalah. Ketakutan menyelinap ke dalam aliran darah dan mengacaukan denyut nadiku. Mungkin… diriku pun turut berkontribusi atas kepergianmu. Semua komunikasi kita telah terputus sejak waktu itu. Pindah! Begitulah kata penghuni baru di bekas rumahmu.

    Rindu… rindu inilah yang memaksaku untuk bangkit mengejar sisa jejakmu di pusat keramaian. Mencarimu disetiap sudut caffe Break Trans Studio Mall ini. Membeli tiket bioskop dan meninggalkan kursi penonton dimenit pertama pemutaran film hanya untuk memastikan dimana keberadaanmu. Mengelilingi Giant Market tanpa membeli apapun dan diusir satpam saat menjelajahi area parkir, karena kutahu disanalah lorong terakhirmu saat melepaskan titik jenuh, yakni tidur dibelakang kemudi!

    Di keramaian itulah kamu biasanya bersembunyi. Tempat singgah favoritemu untuk membunuh rasa sunyi, kecuali tempat parkir. Aneh, kamu bilang membenci sunyi.. tapi kadang-kadang kamupun membutuhkanya. Ah, perasaan ini… apakah sifat dasar manusia, atau sebuah penyimpangan atasnya?

    Aku masih ingat dua bulan yang lalu kamu bilang tentang tempat-tempat pelarian ini, kamu membutuhkannya seperti candu.  Namun 40 hari yang lalu di pagi buta dengan tiba-tiba kamu datang, memanjat balkon rumah dan mengetuk jendela kamarku hanya untuk mengatakan bahwa tempat singgah favorite itu ternyata tak lebih dari kuburan bagi jiwa nahasmu. Saat itu kamu tertawa hingga melelehkan airmata.

    “senang rasanya dapat mentertawakan kebodohan diri sendiri” ujarmu, dan aku hanya bisa memandangimu dengan perasaan asing dan terluka. Kemudian kamu diam sedikit lama, mungkin menunggu kata-kata keluar dari pita suaraku yang tiba-tiba tak berfungsi.

    “Tapi mungkin aku akan tetap menghabiskan waktu di sana…. Menunggu semuanya berhenti dengan sendirinya.” Katamu lagi dan aku hanya dapat membisu dalam keheranan.

    “Kau tahu, aku tidak harus membunuh sunyi.. karena kini aku telah menjadi akrab dengannya. Memilikinya ditengah keramaian sungguh mengasyikan. Seperti bermain petak umpet saja, dan semua akan berakhir oleh putaran waktu. Ya, waktu akan mengakhiri sendiri permainannya. Jadi, tak perlu lagi kau risaukan jiwaku yang rapuh ini. Dengar, aku ingin memberitahumu sesuatu… tentang pintu yang kau tawarkan: Hijrah. Tak perlu kau katakan itu lagi, aku sudah memilih hidupku, dan begitupun dirimu. Aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal. Itu saja.”

    Akhirnya kamu pergi… pergi meninggalkanku yang masih berdiri mematung diambang jendela dengan balutan piyama.

    Dan malam ini, entah untuk keberapa kalinya aku gagal menemukanmu. Meski rasanya tak seperih saat kau menolak uluran kasih sayang yang kutawarkan. Tetapi tetap saja aku merasa tak berguna!

    Aku seperti orang  bingung dan tersesat. Berdiri ditepi jalan berlatar Ibis hotel yang menjulang angkuh. membiarkan kernet angkutan umum semua jurusan berlalu dengan kecewa.

    Tanganku berkeringat, dan baru tersadar ada sesuatu dalam genggamanku, “Ah, dua tiket ini… menggenapkan jejak pencarianku atasmu. Sudah 40 pasang terkumpul untuk film yang sama: *Rapunzell, film pavorite kita semasa kecil. Dimanakah kini dirimu bersembunyi, Zen…???”

    Angin malam membelai gelisah, menyelinap kepori-pori kulitku dan membisikan keputusasaan. Aku menyerah, menyetop angkutan umum yang terakhir lewat dan memenuhi harapan kernetnya yang melambaikan tangan menghiba padaku. Aku pulang.


    ***

    *Cermin: Zena_

    google image
    Malam ini untuk kesekian kalinya kamu diam, tidak pergi bersenang-senang. Aku sedikit lega… tak kau hiraukan klakson dan bunyi bel yang gaduh dari teman-teman malammu di luar sana. Kamu sedang ingin diam, menatap dirimu di depan cermin dan merasakan pemberontakanku atas jalan yang kau pilih. Meski aku sedang menderita dan hampir sekarat karena semua penghianatanmu ini, namun dapatkah kau rasakan bahwa aku masih hidup…

    “Aku sangat mengenalmu, Zen.”

    “begitupun aku.” Desahmu memalingkan wajah dari cermin, seperti biasa.

    “tapi, apa yang kau cari di sana Zen? Itu bukan dirimu, berburu kebahagiaan sesaat dan melupakan eksistensimu sebagai raga yang fana? Kamu telah mengabaikanku!”

    “Kamu sama saja dengan Kaisa! Aku lelah berdebat denganmu. Biarkan aku tidur tanpa mimpi malam ini.”

    Hening. Keadaan ini selalu mencoba berperan diantara aku dan kamu.. namun kamu tahu, aku selalu disini untuk bicara padamu.

    “Apakah kamu ingat… Kaisa pernah mengatakan sesuatu tentang makna yang tersemat dalam namamu, Zen…”

    “jangan ingatkan aku tentang itu!”

    Suaramu bergetar cukup kuat memenuhi ruang dalam dadamu, aku merasakannya… rasamu, sebuah ketakutan.

    "Zen…” Aku kembali meredup, membiarkan gadis yang memiliki sebait nama indah itu menyembunyikan dirinya dibalik selimut. Aku mengejanya untukmu: *Z-e-n-a  L-u-k-e-n  F-a-d-i-y-a-h: _Perempuan pembawa cahaya penyelamat.*

    Kamu meraih bantal dan menutupkannya ke wajah. Tangismu tumpah. Akupun menangis pula.. kini aku tahu… aku _jiwamu, masih memiliki arti.

    “kamu harus pergi untuk menemuinya, Zen... dia pasti merindukanmu. Ah, bukan... adalah hal sebaliknya, kamulah yang merindukannya, bukan?”


    ***

    *Angsana _

    google image
    Kaisa muncul dari balik pagar yang rimbun oleh rumpun Soka lalu berhenti sejenak untuk bersandar pada batangku.  Malam telah larut, namun ia masih menengadah menatap balkon. Tepat pada salahsatu cabangku yang menjuntai disana. Ada tetes embun di sudut matanya saat beranjak menuju pintu rumah. Aku jarang melihatnya berduka, tapi malam ini aku merasakan hal yang berbeda. Lalu sekonyong-konyong gerimis datang menerpa daun-daunku dan menetes berjatuhan pada jejak yang ditinggalkannya. Langitpun turut menangis bersamanya.

    Tak berselang lama, tiba-tiba aku dikejutkan oleh hentakan suara kaki. Sepasang kaki itu menjejak batangku, mematahkan rantingku yang masih lemah, ia tak peduli.. ia semakin tinggi memanjat, merayap melalui salahsatu cabangku yang menjuntai ke balkon lalu mendaratkan sepasang kakinya disana.. di depan jendela, seperti biasa.. oh, gadis lain yang kukenal ini!

    Aku mendengar suara ketukan lemah sebelum jendela itu kemudian terbuka

    “Zena… apakah ini kamu???” itu suara Kaisa, terdengar serak dan dalam.

    “aku… aku tahu kamu tidak akan pernah mencariku… karena aku tidak pantas berada disampingmu sebagai seorang sahabat. Aku… hanyalah noktah yang akan merusak kemurnianmu…”

    “Zen…”

    “Aku kecewa padamu!” kali ini Zena berbalik, menatap kerimbunan daunku yang sebagian berguguran tertebak angin, menghujaninya dengan tak berdaya.

    “maafkan telah mengecewakanmu Zen... jika kamu bersandar padaku… ketahuilah, bahwa aku adalah makhluk. Aku fana dan lemah… sedang Dia, Allah… Al kholiq, tempat bergantung segala makhluk. Maha kasih dan lembut. Dia takkan pernah mengecewakan kita. Selama ini bukankah  setiap kali kita bisu karena cela kita, kemurahanNyalah yang membuat kita kembali bisa berbicara. Setiap kali kita putus asa karena perangai kita, karuniaNyalah yang membuat kita kembali bisa berharap…?!”

    Zena memejamkan mata, mencoba menahan bulir-bulir hangat yang menuruni lekuk wajahnya.

    "Aku membencimu. Aku benci… karena aku selalu menemukan kebaikan dalam dirimu, sedangkan aku.. selalu keburukan yang kudapatkan dalam diriku. Apakah kamu tahu, butuh waktu 40 malam untuk berdamai dengan diriku sendiri… setelah sekian malam itu aku berkonfrontasi dengan keangkuhan egoku. Kini, aku tak peduli apakah kamu mencariku atau tidak, tak peduli kamu merindukanku atau tidak, tak peduli apa pendapatmu tentang diriku… aku datang bukan untuk menuntutmu, tapi aku datang karena aku merindukanmu. Aku merindukan persahabatan kita.”

    Kaisa tersenyum haru, matanya berkaca-kaca. Dan saat Zena berbalik menghadapnya ia telah memeluk erat sahabat semasa kecilnya itu.

    “kamu yang terbaik diantara kita Zen…”

    Zena menggeleng lemah, lalu menggenggam erat tangan sahabatnya

    “Kaisa, apakah pintu itu masih terbuka untukku?”.

    “Untuk kita Zen… Dia mengabarkan pada kita dalam wahyuNya: *Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik_”
    ***

    Malam itu setelah Zena pulang, Kaisa mengambil 80 potongan tiket yang dikumpulkannya dan membuangnya ke tempat sampah. Ia menghembuskan nafas dengan lega lalu tersenyum pada daun, batang dan rantingku,

    “biarlah jejak 40 malam pencarianku atas Zena tetap menjadi rahasia kita wahai pohon Angsanaku… ini akan lebih baik, bukan?”

    Aku hanya bisa membisu merasakan ketulusannya.
     
    ***

    Senja kali ini sangat berbeda, setelah sekian lama akhirnya terdengar kembali denting lembut dawai persahabatan, terbawa hembusan angin mengiringi syair kesejatian.  Aku seperti bernostalgia ke masa silam sebelum cabang-cabangku membesar dan bertambah tinggi hingga menjuntai ke balkon ini. Dulu, kaki-kaki mungil mereka selalu memanjatiku dengan ceria. Dan hari ini, di altar senja yang penuh makna, mereka berdua kembali membersamaiku membuka jendela rindu, bercengkrama dengan sepotong cerita dan secangkir teh.

    ***
    google omage
    *Referensi terkait:
      - Qs. Al-Ikhlas
      - Qs. Al-'Ankaabut:69
      - Buku terapi Makrifat: Syeikh Ibnu Athaillah
      - Dialog singkat tentang 'Katarsis' bersama: Arya

40 komentar:

  1. Banyu Kusuma mengatakan...

    kisah yang indah. terharu saya membacanya.

    kaisa yang mengajak zen hijrah, dan zen yang terombang ambing selama 40 hari dan menemukan jati dirinya sebagai hamba tuhan. ah, subhanallah

    dan tulisan ini yang saya suka
    "Selama ini bukankah setiap kali kita bisu karena cela kita, kemurahanNyalah yang membuat kita kembali bisa berbicara. Setiap kali kita putus asa karena perangai kita, karuniaNyalah yang membuat kita kembali bisa berharap"

    very nice post teh liyan :')

  2. Moti Peacemaker mengatakan...

    keren bener....aku suka kata2nya,,,,
    ada unsur puisi yang di tarik kemari

  3. Niken Kusumowardhani mengatakan...

    Liyan... kisah ini mengingatkan bunda kepada seorang sahabat yang begitu dekat selama 20 tahun lebih. Kami saling nasehat dan mendengarkan satu sama lain kecuali masalah agama.

    Seperti biasa, bahasamu memang indah Liyan... Lama tidak posting, tapi sekali tampil... sungguh2 menyentuh hati.

    Sepertinya bunda yang bakal duluan minta tanda tangan dan foto bareng penulis idola... Liyan Fury...!

  4. Zeal*Liyanfury mengatakan...

    nah, untuk tulisan yang dikutip sama mas banyu itu khusus liyan ambil dari nasehatnya Syeh Ibnu Athailah, di dalam bukunya "teraphi makrifat". beliau ucapkan kata-kata itu untuk ditujukan pada dirinya. sama liyan dirubah monolognya menjadi kalimat dialog.

    semoga bermanfaat. makasih ya mas banyu...

  5. Zeal*Liyanfury mengatakan...

    unsur puisi ya... saya kurang paham kesusastraan sahabat Moti, hanya berusaha memahami imaji dalam diri untuk kemudian saya torehkan lewat untaian kata kata....
    terimakasih atas silaturrahminya. :)

  6. Zeal*Liyanfury mengatakan...

    oh bunda punya nostalgia juga... semoga persahabatan itu seiring waktu dapat menebarkan rahmat dan hidayahNya ya bunda... dan semoga kita menjadi yang terpilih sebagai penyambung hidayahNya untuk para sahabat kita... aamiin.

    penulis idola??? masih jauuuh bundaaa...Ah, tapi bunda kan gurunya... liyan sih meng aminkan saja, hehe.. ^_^

  7. Abu_hafs mengatakan...

    Sedikit-sedikit bisa sy paham, sekalipun harus baca bolak-balik! :D

    Tp namanya mengingatkan masa lalu:

    Z-e-n-a L-u-k-e-n F-a-d-i-y-a-h: _Perempuan pembawa cahaya penyelamat.

  8. Zeal*Liyanfury mengatakan...

    wah, ceritanya gak bikin Abu bingung kan??

    terimakasih sudah silaturrahmi kemari ya Abu, semoga nostalgia masa lalunya menjadi kenangan penyejuk jiwa dan pengokoh langkah. :)

  9. Anonim mengatakan...

    Kakak embuuuun :)
    Selalu menunggu postingan baru di rumah ini.
    Suka suka suka ^^

  10. Catatan Harian Irfan mengatakan...

    Membaca kisah ini, dengan diiringi instrumen yang ada rasa rindu sangatlah terasa :)

  11. Banyu Kusuma mengatakan...

    wahh, bisa dicari tuh bukunya, makasih y teh liyan :D

  12. abang ichal mengatakan...

    sy sempatkan dulu hadir. kebetulan lagi bljr nih di sklh

  13. Zeal*Liyanfury mengatakan...

    Salam embun dik Za... adik langit, hehe... :D
    Alhamdulillah... ehem... senengnya selalu dinantikan adik ^_^

  14. Zeal*Liyanfury mengatakan...

    terasa apa ya fan? manis..pedas...atau asinkah? hehe... :D

  15. Zeal*Liyanfury mengatakan...

    aduh rizal... kamu bandel ya, yang lain belajar eh ini malah nge-net! lagian pake pengumuman segala haha... ketauan guru tar kena sanksi lho.. :)

  16. Zeal*Liyanfury mengatakan...

    sama-sama mas banyu. o iya bukunya 1-5 jilid kalau ga salah... penerbitnya lupa lagi, coz waktu itu saya pinjam dari perpustakaan... ^^

  17. saya baru pertama kali kesini sebagai member baru di bloofers..

    cerita nya luar biasa mbak ngga tau mau komen apa, yang pastinya enak dan mengalir..

  18. Ave Ry mengatakan...

    Seorang teman sejati bukanlah yang banyak memujimu, tetapi yang memperlihatkan kepadamu aib mu agar orang yang dinasehati bisa memperbaiki aib tersebut...

    Keren banget ukht, sampai terbawa emosi. Persahabatan dalam kebaikan, apapun bentuknya akan menambah kecintaan :)

    “Tidaklah seseorang diantara kalian dikatakan beriman, hingga dia mencintai sesuatu bagi saudaranya sebagaimana dia mencintai sesuatu bagi dirinya sendiri.”

  19. Bonitnotz mengatakan...

    Hadeuuuhh.. keren Liyan..
    Persahabatan yang hangat... seperti kalimat ini.. ^_^

    "Aku seperti bernostalgia ke masa silam sebelum cabang-cabangku membesar dan bertambah tinggi hingga menjuntai..."

  20. Zeal*Liyanfury mengatakan...

    Salam kenal sahabat Sabda, salam bloof... ^_^
    makasih sudah berkenan mampir. Semoga mendapatkan manfaat disini :)

  21. Zeal*Liyanfury mengatakan...

    Benar sekali ukhti Basta... makasih atas tambahannya ya. :)

  22. Zeal*Liyanfury mengatakan...

    teh Bonit... ^_^

  23. Rumi Putri mengatakan...

    setujuu..kata-kata nya yang dipakai sastra tingkat tinggi nih. jadi nambah kosa kata bagi yang lagi belajar nulis kayak aku nih..hehee...:D..

  24. Zeal*Liyanfury mengatakan...

    hai sahabat Putri, thank's kunjungannya.
    Alhamdulillah... senang dapat berbagi, tapi jujur saya memang tidak punya pengetahuan lebih tentang dunia sastra. sahabat semualah yang telah banyak memberikan pelajaran disini. terimakasih sahabatku. ^^

  25. Ahmad Mu'azim Abidin mengatakan...

    aku belum baca dong :D

    ntar ah baru tak baca

  26. Zeal*Liyanfury mengatakan...

    haha... Azim Azim... pengumuman ya! ^_^
    apakah ini efek dari hiatus? mungkin...

  27. Unknown mengatakan...

    kunjungan balik di pagi hari menjelang subuh mbak...blog yang inspiratif, semoga sukses selalu ya :)

  28. Zeal*Liyanfury mengatakan...

    Aamiin.. Salam subuh, salam embun ^^
    terimakasih atas kunjungannya :)

  29. Banyu Kusuma mengatakan...

    5 jilid? mantap banget itu bukunya. :D

  30. afrizal ramadhan mengatakan...

    yang paling saya suka dgn teman-teman bloof itu, blognya berisi cerita, kisah yang kita para pembaca di buat mengalun bersama tiap katanya. semoga bisa mencontoh menulis dengan baik. mantab _b

  31. Zeal*Liyanfury mengatakan...

    makasih atas kunjungannya sahabat Afri..
    salam kenal... salam Bloof :)

  32. Ahmad Mu'azim Abidin mengatakan...

    udah baca dong sekarang,,,

    ceritanya mengalir.. bagus tuh, dengan sub bab kaisa, zena dan ditutup konklusi happy ending sub bab angsana. ceritanya lebih hidup karena background lagunya juga sih...

    ada bawa2 nama tempat yang ada didunia nyata.. mungkinkah ini fiksi yang nyata? atau nyata yang fiksi? kalau ini memang dari kisah nyata, pantesan saja kalau bisa semengalir ini (pemilihan diksi yang tepat juga sih).

    kadang-kadang kepikiran buat bisa nulis cerita pendek sepanjang cerita diatas, tapi belum sempat2 hhhe

  33. Vanisa Desfriani mengatakan...

    salam rindu :)

  34. Zeal*Liyanfury mengatakan...

    makasih udah nyempetin mampir kemari,
    salam rindu juga, sahabat Vanisa.. ^_^

  35. Unknown mengatakan...

    emang si ical nih kerjaannya ngeblog di kelas mbak liyan

  36. Unknown mengatakan...

    kisah yang manis. proses pengembalian yang berangsur-angsur karena saling membutuhkan. saya suka sekali:)

  37. Zeal*Liyanfury mengatakan...

    makasih dik Faisya :)

  38. Zeal*Liyanfury mengatakan...

    waah... ketauan nih, nama panggilannya 'ical' toh...
    klo dalam bahasa sunda artinya ical itu = hilang.
    ya ampuun, kasian... rizal= anak yang hilang hehe... ^_^

  39. arya.poetra mengatakan...

    Biarpun tak banyak, dalam laku yang terang maupun tersembunyi, kebaikan harus senantiasa diusahakan. Kebahagian layak diperjuangkan, tidak hanya pada hidup kita, tidak hanya pada hari-hari kita, melainkan juga pada hidup, dan hari-hari orang lain..

    Inspiratif. :)

  40. Zeal*Liyanfury mengatakan...

    Terimakasih telah menyempatkan kemari. Dan Terimakasih untuk kesimpulannya :)

Posting Komentar

Pembaca yang baik, Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar ya... Terimakasih :)