Saya teringat kampung masa kecil yang
begitu indah, di sebelah barat ada hutan bambu dengan sungai yang mengalir… dalam
kenangan masa kecil, saya sering menghabiskan waktu dengan teman-teman untuk
mengumpulkan haremis* di sana. Di atas pasir basah di sisi sungai, dengan
antusias kami melompat-lompat kemudian memeriksa pasir di bawah kaki kami, dari
sana biasanya akan keluar beberapa haremis.. jika beruntung kami akan menemukan 10 bahkan
lebih… setelah melompat-lompat sesaat dan tubuh kami mulai dibanjiri keringat. Lalu
saat pulang kami membawa ember kecil yang hampir penuh terisi haremis, ibu
biasanya membuatkan tumis haremis dengan bumbu merica, menu sederhana
berprotein tinggi. Lalu kami akan makan bersama di beranda rumah diselingi
suara tawa yang ribut. Kami anak-anak kampung, telah terbiasa mendapatkan
kegembiraan sekaligus pembelajaran dari cara bermain.
Sedangkan di sebelah timurnya
terdapat hutan jati hasil reboisasi. Batangnya lurus menjulang ke langit.. saya
sangat suka memandangnya, mereka seperti barisan tentara yang sedang berjaga.
Jika musim kemarau tiba, daun-daun jati itu akan berjatuhan seperti musim
gugur… pemandangannya nyaris bagaikan hutan si penyihir dalam film. Kering,
suram dan hampir mati. Tapi yang membuat saya takjub, ternyata disana masih ada
kehidupan yang tersembunyi, kami anak-anak adalah bagian dari kehidupan
tersembunyi itu. Saya menyukai suara gemerisik daun-daun kering yang terinjak
kaki kami saat tengah mengejar kadal bergaris kuning, beberapa jenis kadal itu
mempunyai jumbai di lehernya dan akan mengembang seperti sayap saat mencium
bahaya… kami tak pernah berniat menyakiti mereka namun sepertinya mereka merasa
terganggu dan selalu waspada saat mendengar kedatangan kami yang begitu
berisik. Ada banyak burung pemakan serangga turut menguni hutan penyihir ini, bahkan
kami juga kerap menemukan sisik ular di bawah serakan daun-daun jati yang lebar
dan kering. Kemudian saat musim penghujan tiba, hutan yang seperti mati itu bagaikan
dihidupkan kembali… ada banyak tunas bermunculan pada pokok rantingnya, dan
tangan mungil kami selalu tergesa-gesa memetik sebagian tunas itu untuk melukis
atau menulis.. ya, tunas muda daun jati sangat ajaib, ia akan meninggalkan
warna merah hati saat kami menggoreskannya di atas kertas.
Dan tentu saja saya memiliki ingatan
yang begitu kuat pada apa yang berada di
sebelah selatan kampung masa kecil saya. Di sana, ada jalan kecil berbatu yang
lurus membelah dua lahan pesawahan. Jalan itu menuju kampung tetangga yang
jauhnya sekitar 2 km. Disisi kanan dan kirinya berjajar pohon lamtorogung*,
sejenis petai cina. Semua orang boleh memanfaatkan buahnya, apa yang kami tanam
bersama disisi jalan umum adalah milik bersama. Biasanya orang-orang akan
mengambil buah yang telah tua untuk campuran pepes*, dan mengambil yang
muda untuk urapan*. Saya sendiri menyukai buahnya yang telah kering,
untuk membuat kolase gambar yang unik. Tentu saja anak laki-laki lebih menyukai
bunganya yang masih muda dan belum mekar, mereka akan memanfaatkannya sebagai
peluru untuk bermain perang-perangan. Diantara pohon-pohon ini ditanami juga
pohon-pohon angsana, yang tak luput dari ‘gangguan’ tangan anak-anak kampung
seperti kami, bila guru seni di kelas kami memberikan tugas keterampilan
membuat sesuatu dari tanah liat, maka kami akan berbondong-bondong datang
membawa pisau pramuka dan menyayati batang pohon angsana ini, dalam beberapa detik
kemudian dari sayatan yang kami buat akan keluar cairan, getah angsana yang
berwarna merah tua. Kamipun mengoles tanah liat yang telah dibentuk dengannya,
hasilnya cukup bagus sebagai pengganti cat pelitur.
Namun, bila saya memandang ke
arah utara… disana saya akan melihat tanjakan, yang di atasnya terpancang rel
kereta. Tanjakan ini membuat pandangan saya terhalang untuk melihat keadaan
dibaliknya. Jaraknya yang sedikit jauh dari pemukiman warga cukup menakutkan
bagi anak-anak, selain karena jarang dilalui orang, jalan ke arah inipun harus
melalui area pemakaman serta kebun Saga*. Pohon berbuah merah dengan bentuk
oval berbintik hitam disalah satu ujungnya, ketika itu dalam imajinasi saya
yang masih anak-anak, buah saga benar-benar mirip mata hantu! Entah mungkin
karena rasa penasaran, saya jadi sering memimpikan keadaan dan suasana dibalik
tanjakan itu… mimpi itu sangat jelas dan selalu sama, padang luas yang
ditumbuhi bunga daisy berwarna kuning juga sebuah mata air jernih ditengahnya, dalam
mimpi itu saya juga melihat seekor kuda putih yang periang, ia berputar-putar
sambil mengangkat kedua kaki depannya yang polos tanpa tapal, kemudian
berlari-lari mengitari padang dengan ringkikan yang nyaring. Arah utara ini
penuh dengan rahasia, dan saat ia hadir dalam mimpi indah, membuat saya
berhasrat untuk membuktikan kebenaran mimpi itu…
Suatu ketika, tiba saatnya saya
melewati jalan di tepian tanjakan itu… ya, hanya melewati tepinya untuk
melanjutkan sekolah di lintas propinsi, kudengar ia adalah sekolah SMP negeri yang
bagus, yang membuatku tak sabar untuk segera sampai disana adalah, katanya
sekolah itu memiliki kelas dari bangunan tua yang beberapa dinding tebalnya
berlubang di bagian atas. Bangunan kuno ini adalah salahsatu peninggalan zaman
belanda. Dulu sekali, sebelum bangunan tersebut difungsikan sebagai sekolah, lubang-lubang
itu menjadi sarang burung walet yang banyak diburu orang. Dan saat pertama kali
menginjakkan kaki di kelas saya itu, saya sudah sangat menyukainya. Lantainya
yang terbuat dari lembaran kayu jati begitu kokoh meskipun telah tua dimakan
usia. Saya selalu menantikan saat pagi tiba, kami murid-murid kelas 7 sangat
bersemangat berlari menaiki tangga, berlomba disepanjang koridor hingga sampai di
kelas dengan wajah berkeringat. Saya sangat menyukai suara berisik kaki-kaki
kami yang berdebam menginjak lantai kayu. Untuk sejenak saya lupa tentang mimpi
dibalik tanjakan rel kereta itu.
Namun pada suatu ketika saat
beranjak dewasa dan apa yang saya baca dan amati bukan hanya tanah, pohon,
angin, ataupun sungai melainkan juga keadaan orang-orang… saat itu seragam yang
saya kenakan telah berwarna putih-abu. Anehnya saya kembali teringat mimpi-mimpi masa kecil…
tentang padang daisy, mata air dan kuda putih. Saya begitu terkejut saat pertama
kali mengingatnya. Untuk alasan yang konyol ini, saya menyiapkan diri untuk
pergi ke tanjakan… pada senja di awal pergantian musim. Angin yang sedikit
ganas menghamburkan debu ke langit, menghalangi pandangan mata dan membuat
langkah saya sedikit terseok-seok. Saya berjalan di tengah rel, melompati
kayu-kayu penyangga baja.. saya bertanya-tanya sendiri, mengapa baja-baja yang
kuat itu dibangun di atas balok-balok kayu? Saya membandingkannya dalam
kehidupan nyata, dalam masyarakat tempat saya berada.. dimana yang lemah
menjadi penopang bagi yang kuat. Analogi konyol, bukan? Dan ini sungguh
menggelikan… akan tetapi sungguh saat itu untuk pertama kalinya hadir di dalam
dada saya sebuah harap, ya… sebuah andai: jika saja hal sebaliknya dapat terwujud,
dimana yang kuat menjadi penopang bagi yang lemah… Untuk beberapa saat saya
berdiri memandang ke arah utara, kenyataan yang sungguh berbeda dari apa yang
selalu saya mimpikan… tidak ada padang daisy, mata air, ataupun kuda putih,
disana hanya ada atap-atap rumah yang sedikit kumuh dan mulai padat, sedikit
pohon angsana serta asam jawa yang mulai menua dan kabel-kabel listrik
bersliweran. Saya pulang.
Mengetahui kenyataan yang berbeda
dari mimpi, membuat pertanyaan demi pertanyaan muncul dibenak saya… mengapa saya
menyaksikan kenyataan yang berbeda dari mimpi-mimpi saya? Masa kecil saya memang
banyak terlibat dengan alam, mungkin hal ini yang membuat saya mempercayai
mimpi-mimpi tentang alam… namun saya tetap penasaran, apakah mimpi ini hanya
sebuah kembang tidur? Saya sering bermimpi, tapi tak pernah bermimpi yang sama
duakali kecuali mimpi tentang padang daisy, mata air, dan kuda putih... saya
tak bisa benar-benar mengabaikan mimpi yang berulang ini.
Namun, dalam kebingungan saya
memahami mimpi alih-alih saya mulai focus pada tujuan hidup saya..
“Ada banyak jenis kehidupan yang diciptakanNYa
di dunia ini, manusia berada pada puncak tertinggi saat ia mengabdikan seluruh
hidupnya untuk sang pencipta, akan tetapi hal sebaliknya jika ia melepaskan
jalan ketaatan, manusia menjadi bagian terendah dari semua ciptaanNya.”
Sudah lama tak berkunjung ke sini teh :)
Ketika beranjak dewasa banyak sekali perubahan perubahan di kampung halaman,, namun mimpi yang sebenarnya adalah "memahami mimpi saat masa kanak - kanak dan mulai focus pada tujuan hidup"
Saya sering diberi tahu kalo mimpi itu banyak hadir ketika kita memikirkan sesuatu berlebihan...
Salam dari Pulau Dollar